Minggu, 14 Maret 2010

Globalisasi dan Dampaknya Bagi Masyarakat

GLOBALISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEKERJA

Istilah globalisasi sering kita dengar dan baca melalui berbagai mass media. Namun berapa banyak diantara kita yang mengetahui arti sebenarnya? Globalisasi dalam pengertian umun adalah suatu proses intensif yang menghubungkan perekonomian antar negara diseluruh dunia tanpa batasan apapun. Ini berarti para pemilik modal dapat membuka usaha dimanapun ia suka tanpa batasan apapun.

Aktifitas globalisasi ini dapat berupa paham/gagasan dasar Neoliberalisme yaitu sebuah gagasan yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan bekerja optimal jika lalu lintas ekonomi global (barang, jasa maupun modal) didasari sepenuhnya oleh prinsip ”pasar bebas” (self regulation market). Peran negara harus diminimize/dikurangi dalam urusan ekonomi atau dengan kata lain negara harus tunduk kepada pasar.

Berikut beberapa aktor utama globalisasi:

  1. Bank Dunia (World Bank)

Didirikan pada tahun 1944 dengan tujuan utama meminjamkan uang dengan bunga yang berlaku di pasaran untuk keperluan pembangunan dan investasi proyek negara-negara berkembang dengan pendapatan perkapita yang relatif tinggi. Pnjaman diberikan kepada pemerintah atau proyek yg dijamin oleh pemerintah.

  1. IMF (international Monetary Fund/Dana Moneter Internasional)

Didirikan pada tahun 1944 dengan tujuan untuk menjaga sistem moneter internasional dengan cara mengembangkan harga tetap, membebaskan hambatan dalam perdagangan, pengembangan perdagangan multilateral dan mempromosikan perdagangan dan investasi dunia.

  1. ADB (Asian Development Bank/ Bank Pembangunan Asia)

Berdiri pada tahun 1966 dengan tujuan untuk meningkatkan proses pembangunan sosial ekonomi di kawasan asia pasifik. Sumber keuangan berasal dari negara anggota.

  1. CGI (Consultative Group on Indonesia/ Kelompok konsultatif untuk Indonesia)

Adalah konsorsium negara dan lembaga pemberi hutang ke Indonesia yg diketuai oleh Bank Dunia. Kendati CGI sudah tidak lagi berperan efektif, namun sisa-sisa persoalan masih sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat Indonesia.

  1. IFC (International Finance Corporation/ Lembaga Keuangan Internasional).

Berdiri tahun 1966 bertujuan untuk membangun bisnis swasta di negara berkembang. Pinjaman ditujukan untuk bisnis swasta dengan sumber dana berasal dari anggota yang menjaminkan obligasinya di pasar modal internasional. Sampai tahun 1994, pembiayaan, pinjaman dan investasi IFC diseluruh dunia telah mencapai U$ 2.5 Miliar.

Dalam menjalankan aksinya aktor-aktor globalisasi tersebut terus mendekati negar-negara berkembang yang mengalami krisi ekonomi. Mereka menawarkan bantuan dan pinjaman dengan syarat-syarat tertentu (letter of Intent- LoI). Berikut adalah resep-resep yg ditawarkan oleh aktor globalisasi untuk kreditor agar mendapatkan hutang:

v Liberalisasi

o Intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi harus dihilangkan karena akan mendistorsi peran pasar.

o Pembukaan kesempatan seluas-luasnya bagi investasi asing dalam perekonomian negara (termasuk eknomi yg dikuasai oleh negara).

o Negara wajib memfasilitasi kelancaran arus masuk investasi asing dengan jaminan fasilitas yg luas dan longgar.

v Privatisasi

o Percepatan pemindahan kepemilikan aset-aset ekonomi milik negara ke tangan swasta.

o Pemindah tanganan aset-aset ekonomi milik negara ke tangan investor asing tersebut termasuk aset-aset ekonomi yg seharusnya dikuasai oleh negara seperti BUMN/BUMD yg bergerak di bidang keuangan, telekomunikasi, pertambangan, pupuk dan usaha-usaha strategis lainnya.

v Diregulasi

o Pengurangan peran pemerintah dan penyediaan fasilitas dan regulasi yg pro pasar, termasuk didalamnya diregulasi terhadap UU Ketenagakerjaan (UU No 13/2003, UU No 2/2004, UU 21/2000)

Namun semua resep yang ditawarkan para aktor globalisasi tersebut di atas yg bersifat generik seperti : meningkatkan pajak, meningkatkan suku bunga, memangkas anggaran publik (kesehatan/pendidikan), mengurangi subsidi BBM, memangkas subsidi pupuk dan mengurangi tunjangan sosial bagi rakyat, liberalisasi finansial dan pasar keuangan, menggenjot investasi asing dengan fasilitas khusus (tax holiday, bebas bea masuk) serta mendorong privatisasi seluas-luasnya terbukti telah gagal untuk memulihkan kondisi krisis ekonomi negara-negara kreditor termasuk Indonesia. Tingginya jumlah pengangguran dan angka kemiskinan yg terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan bukti nyata kegagalan tersebut.

Sebelum krisis tahun 1997, kondisi hutang Indonesia sudah mencapai 30% dari PDB dan saat krisis rasio hutang membengkak hingga 128%. Lembaga Keuangan Internasional pernah mencatat bahwa hutang LN Indonesia pada tahun 2004 sudah mencapai angka U$ 77,1 miliar dollar sementara hutang domestik sebesar U$ 68,9 miliar dollar. Pembayaran cicilan hutang telah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yg dibayarkan oleh rakyat sebesar Rp 219,4 T. INFID pernah menghitung secara kasar bahwa Indonesia harus menyisihkan U$ 2,5 Juta dollar tiap harinya untuk membayar bunga utang kepada negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional (WB & IMF).

Jadi keuangan negara ini telah dibuat bangkrut melalui ketergantungan dalam bidang keuangan, sehingga kita kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri. Alokasi APBN untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat telah dipangkas dan dikalahkan oleh kepentingan negara untuk membayar hutang. Anggaran yang semestinya untuk memerangi kemiskinan telah habis dikuras untuk membayar cicilan utang yg menurut data Koalisi Anti Utang (KAU) pada tahun 2006 mencapai angka Rp 69,8 Triliun. Uang sebanyak itu mesthinya dapat memenuhi anggaran 20% pendidikan dan kesehatan. Dalam APBN-P 2006, pos anggaran untuk kehidupan rakyat jumlahnya hanya Rp 3,7 T, bencana alam Rp 1.8 T dan fungsi lingkungan hidup Rp 4.4T.

Meski agak lambat pemerintah akhirnya menyadari bahwa harus ada alternatif lain untuk mendanai pembangunan dan mengurangi beban utang. 5 oktober 2006, negara memgembalikan seluruh dana pingjaman berjaga-jaga (stand by loan) IMF sebesar U$ 3.1 miliar ditambah bunga 1 kali pembayaran dan totalnya menjadi U$ 3.2 miliar dollar. Sebelumnya Juni 2005, negara sudah mengembalikan utang sebesar U$3.7M dollar. Pengembalian tersebut dengan mempertimbangkan kecukupan cadangan dana devisa. Sept 2006 cadangan devisa negara mencapai U$ 42,35 miliar dollar dan meningkat pada tahun 2007 hingga U$43 miliar dollar.

Keputusan mempercepat pelunasan hutang terhadap IMF dan membubarkan CGI sangat tepat secara politik dan ekonomi. Hutang IMF yg disertai letter of intent, telah menjerumuskan indonesia ke dalam jurang liberalisasi ekonomi yg menjajah dan memiskinkan rakyat. Tercercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan hutang luar negri selama lima tahun terakhir.

Globalisasi telah menimbulkan dampak yang luas terhadap nasib jutaan pekerja/buruh di Indonesia. Upah dan kondisi kesejahteraan buruh yg terus turun sebagai akibat dari pola kebijakan pembangunan yg sepenuhnya telah menggantungkan diri pada kebijakan ekonomi politik neoliberal. Rendahnya kualitas SDM pekerja/buruh sebagai akibat rendahnya upah dan ketiadaan komitmen dari pelaku usaha dan pemerintah untuk meningkatkan keterampilan dan kualitas SDM pekerja.

Ketidakpastian masa depan pekerja/buruh yg diakibatkan oleh maraknya praktek outsourcing, kerja kontrak dan sejenisnya berdampak kian lemahnya ikatan emosional dan perjuangan nasib pekerja dalam konteks gerakan SP/SB.



http://agussr.wordpress.com/2009/01/03/8/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar